Senin, 07 Desember 2009

Benarkah Aku Terlalu Dominan?

Hari ini aku memang not in the mood. suntuk. sumpek. kesel. dan lain-lain... ada satu hal yang membuatku seperti ini. aku terlalu dominan, begitu kata temenku... ini berawal dari tugas kelompok yang sebagian besar aku dan salah seorang temanku yang mengerjakan. sedangkan dua yang lainnya tidak ikut berperan hanya menyumbangkan uang untuk biaya penyelesaian tugas...

Oke, aku akui memang aku ingin selalu ambil peran dalam segala hal yang melibatkan diriku. aku ingin aku juga bekerja dalam hal apa pun, salah satunya adalah mengerjakan tugas kelompok. yang sebenarnya aku begitu benci tugas kelompok, aku lebih suka tugas individu...

Apa yang sebenarnya terjadi...

Aku memang orang yang asal bicara. tadi aku bilang pada salah seorang temenku kalo dia gak berperan apa-apa. sungguh, maksud aku hanya bercanda, karena aku memang ikhlas mengerjakan tugas tanpa bantuannya, tapi ternyata dia tersinggung. dia bilang aku yang terlalu dominan dalam hal ini. aku dan salah satu temenku yang ambil peran, berdua mengerjakan tugas. dan dia bilang aku selalu menolak saat dia menawarkan diri untuk turut serta... hey, aku gak butuh tawaran! aku ingin dia bicara dengan tegas kalo dia memang ingin mengerjakan itu bersama-sama. bukan sekedar menawarkan.

Aku baru sadar kalo aku terlalu dominan. tapi apa yang terjadi kalo aku gak dominan? siapa yang akan menjadi leader? yang mengatur ini dan itu? meskipun aku sebenarnya bukan leadernya...

Kalo memang dia merasa aku terlalu dominan, kenapa dia gak mengejar aku? bukankah dia juga bisa menjadi dominan? kenapa aku yang harus mundur beberapa langkah? dan aku terdiam menyimpan kejengkelanku.

Tapi rasa kesal itu gak berlangsung lama, karena sepulang kuliah kami saling bermaafan dan saling bertukar senyum...

Tapi tetap saja perasaan jengkel ini masih ada. mungkin aku memang harus mundur sedikit untuk memberi kesempatan pada temanku yang satu ini...

Minggu, 06 Desember 2009

Biarkan Kereta Itu Lewat, Arini

Arini menoleh ke arah Nick dengan perasaan serba salah. Nick pasti tersinggung kalau tidak diperkenalkan. Dan Arini tidak dapat melupakan bagaimana reaksi tamu terhormatnya itu. Dia begitu terkejut. Tidak menyangka pemuda yang seperti anak SMA itu suami Ibu Arini Utomo yang direktris...

"Mengapa kamu tidak memakai pakaian
yang lebih baik kalau menjeputku?"
"Apa kurangnya pakaianku? Aku tidak memakai celana pendek seperti Tarzan,kan?"
"Istrimu direksi, Nick!"
"Apa bedanya kalau istriku tukang jual jamu sekalipun?"
"Tolonglah menghargai istrimu. Menjaga perasaannya di depan karyawan-karyawannya.
Kolega-koleganya. Tamu-tamunya."
"Kamu yang tidak pandai menjaga perasaan suamimu! Di depan mereka seperti malu mengakui aku sebagai suamimu! Jika seandainya muat, kamu pasti sudah menyimpanku baik-baik di dalam tas!"

Apa yang terjadi jika wanita karier yang punya kedudukan menikah dengan seorang pemuda yang berumur sepuluh tahun lebih muda?

Lebih-lebih bila pemuda itu belum punya pekerjaan dan memilik seorang ibu yang gemar mencapuri urusan rumah tangganya.

Masih Ada Kereta Yang Akan Lewat

Delapan tahun yang lalu karena takut ketinggalan kereta, Arini telah menumpang kereta yang salah. Kereta api yang menjerumuskannya ke jurang penderitaan. Tetapi penderitaan yang bagaimanapun beratnya tidak menjerumuskan perempuan sederhana yang polos dan bodoh seperti Arini ke lembah kenistaan. Dia tidak membiarkan dirinya jatuh ke dalam pelukan laki-laki. Atau terkapar menangisi nasibnya di tempat tidur. Dengan sisa-sisa kekuatannya sendiri, Arini berjuang untuk memperbaiki nasibnya. Bertekad menjadi seorang wanita terhormat, agar tidak seorang pun berani menghinanya lagi. Dia menempa dirinya menjadi seorang wanita karier yang sukses, meskipun untuk itu dia terpaksa mulai dari tempat yang paling bawah sekali. Di ujung suksesnya, ia mengira tak ada lagi kereta yang akan melintasi hidupnya. Tetapi dalam sebuah kereta api cepat di daratan Eropa, kereta api terakhir yang menuju Stuttgart, Arini berjumpa dengan Nick. Dan di dalam diri laki-laki yang sepuluh tahun lebih muda ini, Arini menyadari, masih ada kereta api yang akan lewat. Kereta yang membawanya ke Jakarta. Mempertemukannya kembali dengan Helmi, laki-laki yang pernah menjadikannya seorang istri pulasan, demi menutupi skandal cintanya dengan Ira, teman Arini yang telah menikah. Dendam yang membara di hati Arini nyaris menemukan pelampiasannya ketika ia melihat apa yang telah dilakukan Helmi terhadap anak perempuan mereka selama ini. Dan di dalam diri anaknya yang telah ditinggalkannya begitu saja selama tujuh tahun, yang lebih memilih ibunya daripada Arini, dia kembali dihadapkan pada suatu dilema.

Sabtu, 05 Desember 2009

Harapan Semu

Usiaku udah 20 tahun sekarang. dan selama itu pun aku belum pernah merasakan yang namanya pacaran. seperti yang dilakukan temen-temenku, pacaran...
Jangan pernah berpikir aku gak mengingikan seseorang berada disampingku. aku tentu membutuhkannya, tapi aku tau itu gak bisa dipaksakan dan bukan pacaran hanya dengan tujuan supaya punya pacar, lebih dari itu...

aku emang menolak, karena ku pikir aku gak jatuh cinta sama mereka...tapi baru ku tau tentang diriku sendiri kalo aku juga menolak saat seseorang yang kucintai mencintaiku juga...dia adalah lelaki pertama yang membuat aku deg-degan dan membuat panas mukaku. bukankah kita gak akan seperti itu kalo kita gak jatuh cinta padanya?
Aku merasa menjadi putri saat disampingnya, karena dia emang memperlakukan aku seperti putri. memperlakukan aku seperti wanita dewasa. karena dia memang terlalu dewasa buatku, tapi itu justru yang membuat aku jatuh cinta, perlakuannya dan perhatiannya. dia mampu membuat aku merasa bangga terhadap diriku sendiri sampai aku rela berangkat saat panas dan hujan untuk menemuinya...saat berjalan disampingnya...saat minum dengannya...saat dia menatapku...saat gak sengaja kulitnya menyentuh kulitku...aku jadi gelisah...dan malu...
tapi aku tau aku akan merangkai harapan semu jika bersama dia. aku terlalu penuh pertimbangan. dan tentunya aku gak memikirkan diriku sendiri. aku juga memikirkannya dan keluargaku, tentang apa jadinya jika aku bersamanya...lebih banyak sukanya atau dukanya...aku harus berpikir realistis. namun ternyata setelah lama berpisah, cintaku mulai pudar, karena cinta bagaikan pohon, membutuhkan air agar tetap hidup, dan karena perpisahan itu, gak ada lagi air yang bisa menumbuhkan cintaku lagi...