Tahun ini menjadi tahun membahagiakan sekaligus mengerikan dalam hidupku. aku tak pernah membayangkan sebelumnya jika aku akan diberi cobaan seberat dan semenakutkan ini. dulu aku selalu membayangkan bahwa momen kelahiran adalah suatu momen yang mengharu biru, tak akan pernah bisa diuraikan dengan kata-kata kebahagiaan yang melingkupi setiap wanita.
Tepat pada tanggal 20 Agustus 2012, seperti dugaan bidan dan dokter tempat di mana aku memerikasakan kandunganku, pada tanggal itulah prediksi kelahiran bayiku. rasa sakit yang timbul di pinggang bagian belakang membuatku tak bisa tidur malam selama tiga hari. karena setiap kali kontraksi itu datang, mataku akan terbuka seketika dan tak pernah bisa terlelap. dan kontraksi itu bukan datang lima menit sekali seperti yang orang lain rasakan ketika masih pembukaan satu. rasanya saat itu, hanya beberapa kali tarikan napas, kontraksi kembali hadir sampai membuatku tak bisa melakukan apa-apa karena kaki menjadi lemas.
Bertepatan dengan hari raya kedua idul fitri, aku dibawa ke rumah praktek bidan yang ternyata bidan tersebut sedang bersilaturahmi kepada saudaranya sehingga aku harus mencari bidan lain. sayangnya karena bertepatan dengan hari besar, lagi-lagi bidan yang kedua juga tak ada. pilihan terakhir akhirnya aku dibawa ke puskesmas yang entahlah kenapa sangan sepi sekali. hanya ada seorang wanita dan keluarganya yang baru saja lahiran dan hendak pulang.
Bidan yang bertugas hanya satu orang yang kebetulan sedang hamil juga. aku tak pernah membayangkan akan melahirkan di puskesmas karena pandangan orang tentang pelayanan di puskesmas yang masih jauh dari kata baik. tapi aku tak punya pilihan lain selain mengaduh kepada ibu dan suami. sedangkan bidannya tidak melakukan apa-apa dan tidak memberi anjuran apa-apa supaya pembukaan menjadi lebih cepat. bidan tersebut hanya tidur sepanjang hari.
Ini adalah proses kelahiran pertama bagiku. katakanlah aku masih belum berpengalaman dan tak tahu apa yang harus kulakukan. hingga menjelang sore tak ada perubahan apa pun, aku meminta dikirim paksa ke rumah sakit. keluargaku mengiyakan saja karena sudah tak tahan melihat penderitaanku. lalu mulailah sebuah drama yang jika mengingatnya aku ingin tersenyum miris.
Aku meminta dikirim ke rumah sakit A dengan dokter B. si bidan kemudian menelepon tapi selalu keluar dari kamarku. kemudian dia masuk lagi dan bilang kalau dokter B sedang piket di rumah sakit C dan tidak bisa dipanggil. lalu aku memilih dokter D tetap di rumah sakit A. lagi-lagi bidan itu keluar dari kamar (baru aku sadari setelah beberapa bulan setelahnya kalau bidan itu hanya pura-pura menelepon). setelah kembali, dia bilang kalau dokter D sedang ke luar negeri. aku dan keluargaku pun bingung.
Dalam kebingungan kami, bidan mengusulkan untuk membawaku ke rumah sakit E (pada akhirnya aku tahu kalau dia bekerja sama dengan rumah sakit E, mungkin dia akan dapat komisi kalau membawa pasien kesana. entahlah). aku pun menurut saja karena tidak tahu harus melakukan apa.
Aku tak akan menceritakan lagi seperti apa perjuanganku melahirkan hingga harus berbaring di atas meja operasi, karena sudah pernah kuceritakan di post sebelumnya. kali ini aku akan bercerita tentang pendarahan tiba-tiba yang menimpaku setelah sekitar dua puluh hari pasca operasi.
Tepatnya pukul tiga sore, darah mengucur deras seakan tak berhenti sampai membuat tubuhku lemas. aku menghabiskan banyak air di kamar mandi karena darah yang terus mengalir seperti kran air yang dibuka. tak ada rasa sakit sama sekali yang kurasakan tapi ketakutan dan kecemasan tentang alasana mengapa tubuhku seperti ini yang membuatku tak kuasa untuk keluar dari kamar mandi.
Setelah aku menceritakan apa yang baru saja terjadi, keluarga menyuruhku ke bidan dan bidan mengatakan bahwa itu suatu yang langka. jika terulang kembali sebaiknya aku harus ke rumah sakit. aku sedikit tenang karena esoknya tak ada darah lagi yang keluar. tapi satu minggu kemudian, darah kembali mengucur deras dan membuatku lemas karena tubuhku hampir kekurangan darah. seperti terjadi musibah yang sangat besar, aku diangkat oleh beberapa orang dan dibawa ke rumah sakit E, tempat di mana aku dioperasi. dalam hati aku benar-benar pasrah dengan apa yang akan terjadi. jika memang usiaku hampir saja usai, aku akan menerima dengan pasrah. tapi Allah masih memberiku kesempatan untuk hidup.
Di rumah sakit, bukannya langsung ditangani, aku malah dimarahi karena telat untuk kontrol pasca operasi. aku bukan berniat untuk tidak kontrol, tapi jarak rumah ke rumah sakit itu jauh sekali sedangkan keluargaku tidak punya mobil. kami harus menyewa mobil sebelumnya. aku dan ibuku hanya diam saja ketika disindir ini dan itu, karena kami membutuhkan pertolongan. meskipun aku datang membayar sendiri tanpa asuransi sedikitpun entah kenapa mereka memperlakukan kami seperti itu. bolehlah mereka menghina kami kalau memang kami dibayari oleh pemerintah misalnya. ini kami bayar sendiri loh!
Akhirnya aku harus ditransfusi darah sebanyak empat kantong. segala macam obat dimasukkan ke dalam tubuhku melalui infus dan dubur, untuk menghentikan perdarahanku. obat-obatan yang mereka jejalkan memang tokcer. perdarahan berhenti seketika. dan tubuhku mulai merasa baik setelah mendapat transfusi darah.
Tiga hari aku opname di rumah sakit dengan biaya sendiri sekitar tiga juta rupiah. aku pikir aku akan sembuh dan tak akan terulang lagi kejadian kamar mandi berdarah. ternyata aku salah. ada kejadian lain yang tak kalah mengerikan. nantikan kisahku selanjutnya dengan judul Perdarahan 2.
Aku tak akan menceritakan lagi seperti apa perjuanganku melahirkan hingga harus berbaring di atas meja operasi, karena sudah pernah kuceritakan di post sebelumnya. kali ini aku akan bercerita tentang pendarahan tiba-tiba yang menimpaku setelah sekitar dua puluh hari pasca operasi.
Tepatnya pukul tiga sore, darah mengucur deras seakan tak berhenti sampai membuat tubuhku lemas. aku menghabiskan banyak air di kamar mandi karena darah yang terus mengalir seperti kran air yang dibuka. tak ada rasa sakit sama sekali yang kurasakan tapi ketakutan dan kecemasan tentang alasana mengapa tubuhku seperti ini yang membuatku tak kuasa untuk keluar dari kamar mandi.
Setelah aku menceritakan apa yang baru saja terjadi, keluarga menyuruhku ke bidan dan bidan mengatakan bahwa itu suatu yang langka. jika terulang kembali sebaiknya aku harus ke rumah sakit. aku sedikit tenang karena esoknya tak ada darah lagi yang keluar. tapi satu minggu kemudian, darah kembali mengucur deras dan membuatku lemas karena tubuhku hampir kekurangan darah. seperti terjadi musibah yang sangat besar, aku diangkat oleh beberapa orang dan dibawa ke rumah sakit E, tempat di mana aku dioperasi. dalam hati aku benar-benar pasrah dengan apa yang akan terjadi. jika memang usiaku hampir saja usai, aku akan menerima dengan pasrah. tapi Allah masih memberiku kesempatan untuk hidup.
Di rumah sakit, bukannya langsung ditangani, aku malah dimarahi karena telat untuk kontrol pasca operasi. aku bukan berniat untuk tidak kontrol, tapi jarak rumah ke rumah sakit itu jauh sekali sedangkan keluargaku tidak punya mobil. kami harus menyewa mobil sebelumnya. aku dan ibuku hanya diam saja ketika disindir ini dan itu, karena kami membutuhkan pertolongan. meskipun aku datang membayar sendiri tanpa asuransi sedikitpun entah kenapa mereka memperlakukan kami seperti itu. bolehlah mereka menghina kami kalau memang kami dibayari oleh pemerintah misalnya. ini kami bayar sendiri loh!
Akhirnya aku harus ditransfusi darah sebanyak empat kantong. segala macam obat dimasukkan ke dalam tubuhku melalui infus dan dubur, untuk menghentikan perdarahanku. obat-obatan yang mereka jejalkan memang tokcer. perdarahan berhenti seketika. dan tubuhku mulai merasa baik setelah mendapat transfusi darah.
Tiga hari aku opname di rumah sakit dengan biaya sendiri sekitar tiga juta rupiah. aku pikir aku akan sembuh dan tak akan terulang lagi kejadian kamar mandi berdarah. ternyata aku salah. ada kejadian lain yang tak kalah mengerikan. nantikan kisahku selanjutnya dengan judul Perdarahan 2.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar