Judul : Separuh Hati yang Pergi
Penulis : Mimie Sarah
Penyunting : Ardiansyah
Penerbit : Wahyu Qolbu
Tahun terbit : 2018
Blurb
“Bun, bangun, Bun! Ayah udah urus
pembelian rumah buat Bunda. Ayah juga udah mencicil biaya umroh buat kita. Ayo bangun,
Bun...!” seru Imam lembut membangunkan istrinya.
“Allah ya Rabb, izinkan aku
membahagiakan Zahra, perempuanku,” lirih Imam sambil bercucuran air mata di
depan sosok istrinya yang terbaring di ruang operasi.
Sambil menatap wajah sang istri,
Imam terbawa pada kenangan masa silam, saat pertama kali mereka bertemu. Tak
ada yang berubah dari wajah istrinya. Zahra tetap cantik seperti pertama kali
ia bertemu. Namun, Imam saat ini seperti sedang kehilangan akal sehat. Sudah
sepuluh menit dia membangunkan istrinya tetap tak ada respon. Imam masih
berharap, ini hanya mimpi.
Imam dan Zahra, adalah cinta
sejati yang tidak dapat bersama. Ada kata terlambat yang terselip pada manisnya
kebersamaan mereka, dan ada takdir Ilahi yang tak kuasa mereka ubah.
***
Cover novel ini menarik. Warnanya
cerah dan ilustrasinya seperti puzzle, cocok dengan judulnya “Separuh hati yang
Pergi.” Alur yang digunakan adalah alur maju. Jadi tidak perlu bingung untuk
flashback. Meskipun sudut pandangnya berubah-ubah, dari sudut pandang orang
pertama yaitu Imam dan Zahra, kemudian sudut pandang orang ketiga yaitu penulis
sendiri, tapi overall novel ini bisa dinikmati dan nggak bikin pusing.
Novel ini diawali dengan kisah
Imam, lelaki tampan berusia 28 tahun, tapi belum juga menemukan tambatan hati.
Ada saja ketidakmantapan ketika mengenalkan seorang gadis kepada keluarganya.
Aku kira pada awalnya ibu Imam seperti ibu-ibu yang sangat rewel seperti di
sinetron. Ternyata ibu Imam itu ibu yang baik sekali. Hanya saja mencari istri
yang benar-benar sesuai dengan syariat islam dan bisa mengerti tentang kondisi
saudari-saudari Imam, bukanlah hal yang mudah.
Aku menikmati adegan ketika Imam
sedang bercengkerama dengan teman-teman kerjanya. Lucu juga. Apalagi ada yang
sampai punya dua istri. Bayangkan saja Imam, satu saja belum punya. Nah,
temannya malah sudah punya dua.
Waktu terus berjalan, hingga
akhirnya Imam bertemu dengan Zahra. Dari namanya saja sudah bisa dipastikan
kalau gadis ini cantik. Imam langsung terpesona. Secara nggak langsung, Imam penasaran
pada Zahra.
Nah, kira-kira kalian pernah
nggak bertemu dengan seseorang yang bikin kalian terpesona, kemudian berdoa
diam-diam, “Aku berharap suatu saat aku bisa bertemu dia lagi.”
Itu doa Imam, lho.
***
“Nak, suatu saat kamu akan
mengerti tentang perjuangan hidup. Memang bukan sekarang, tapi nanti. Sama
seperti umi yang berjuang menyekolahkanmu hingga ke perguruan tinggi tanpa
sosok abimu. Jangan pernah membebani orang lain selagi beban itu masih sanggup
kita pikul. Kamu harus jadi wanita yang mandiri. Carilah lelaki yang baik
imannya, yang sayang dan bertanggung jawab pada keluarganya. Insya Allah itulah
sosok suami yang baik untuk dijadikan pemimpin dalma rumah tangga.”
Membaca nasehat uminya Zahra
membuat aku ingat ibuku sendiri nih. Gimana dong?
Kedua orang tua Zahra sudah
meninggal. Zahra tinggal di rumah pakde dan budenya. Gadis itu sedang berjuang
untuk melamar pekerjaan sebagai guru. Saat baru pulang dari melamar pekerjaan
itu dia bertemu dengan Imam. Dan ternyata nih, tanpa dia tahu, pakdenya dan
Imam sudah saling kenal. Tuh kan, ada saja jalan yang Allah lancarkan ketika
mempertemukan seseorang dengan jodohnya.
Ada nggak nih yang seperti Zahra?
Berkenalan dengan seseorang dan ternyata orang tersebut tidak jauh berada dari
sisi kita?
Apalagi Imam tak butuh waktu lama
untuk memberanikan diri melamar Zahra. Wah wah...
***
Kalau ada yang bilang, “Bukan
hanya menyatukan aku dan kamu, menikah juga menyatukan keluarga kita.”
Sepertinya kalimat itu cocok ditujukan kepada Imam dan Zahra.
Jadi, ketika takdir telah
mempertemukan mereka, Zahra harus dihadapkan pada kenyataan bahwa Imam memiliki
beberapa saudara perempuan yang tiap saudara itu memiliki ciri khas
masing-masing. Zahra yang mengagumi Imam karena Imam berani melamarnya tanpa
ada adegan pacaran sebelum menikah, tak bisa mundur lagi.
Zahra harus belajar untuk
memahami Eva, kakak Imam, yang bisa dibilang cemburu dengan kebahagiaan Zahra
karena Eva masih lajang. Kemudian ada persoalan lain tentang adik Imam yang
tidak bisa dijelaskan secara gamblang di sini.
Beruntungnya Imam punya istri
yang sabar. Tapi sesabar-sabarnya istrinya, Zahra sempat juga mengeluh karena
ingin hidup mandiri. Tapi lagi-lagi pikiran sehat lebih mengunggulinya. Karena
menikah juga harus selalu menjaga hubungan baik dengan masing-masing keluarga.
Bisa dibayangkan kan, bagaimana jadinya kalau Imam keluar dari rumah ibunya
sementara dia adalah laki-laki satu-satunya di dalamnya?
***
Jadi novel ini novel yang cukup
ringan dibaca karena tidak jauh-jauh dari kehidupan sehari-hari. Konfliknya
ringan tetapi masih cukup terasa gregetnya hingga bab akhir.
Zahra adalah sosok istri idaman
yang bisa dengan ikhlas menerima kondisi keluarga suaminya. Wanita itu justru
menghibur Imam ketika suaminya itu sedang terpuruk.
“Mas, kamu nggak sendirian untuk
menghadapi semua ujian ini. Ada aku di sini yang siap berbagi denganmu dalam
suka maupun duka.”
Tuh, gimana Imam nggak cinta mati
sama Zahra. Zahra memang pantas untuk dicintai dan Imam berjuang keras untuk
mewujudkan impian istrinya.
Buat kalian yang suka cerita
sederhana namun manis dan bernapaskan islam, kalian harus baca ini. Karena
novel ini mengajarkan kita untuk selalu sabar menghadapi masalah dan belajar
ikhlas dengan semua ketentuan Allah.
Suka banget sama ceritanya
BalasHapus